Rabu, 27 November 2013

Makna Iftiraq (perpecahan) dan Ikhtilaf (Perbadaan) Yang sebenarnya di dalam islam

November 27, 2013
Ada sebagian dari kelompok umat islam yang sering mempermasalahkan dan memperuncing suatu persoalan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah atau khilafiyyah, misalnya masalah membaca qunut sewaktu sholat subuh, sholat Di Masjid yang sekomplek dengan pekuburan, membaca al-Quran di pekuburan, isbal dan lainnya. Sehingga mereka berani memvonis ‘SALAH’ orang lain yang bertentangan dengan mereka dan merasa pendapatnya paling benar dari yang lainnya. Sungguh mereka telah salah memposisikan mana masalah ikhtilaf dan mana masalah iftiraq dan tidak memahami dengan baik definisi dan makna dari keduanya.



Di sini kita akan mengkaji secara singkat makna dari ikhtilaf dan iftiraq dan perbedaan di antara keduanya. Dan nanti akan diketahui siapa sebenarnya yang telah berbuat iftiraq.





Allah Subhanu wa ta’aala melarang umat muslim berpecah belah :



وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ



“ Berpeganglah kalian dengan tali Allah dan janganlah bercerai berai “ (QS.Ali-Imran : 103)



Kalimat Jamii’an (Semuanya / bersatu) dalam ilmu tata bahasa arab berkedudukan menjadi haal (keadaan), maka artinya “ Jadilah kalian dalam keadaan bersatu dengan berpegang teguh pada tali Allah “



Para ulama ahli tafsir mengartikan tali Allah (hablullah) dengan agama Allah, ada yang menafsirkan dengan al-Quran dan janji Allah. Ada juga yang mengartikan tali Allah dengan berjama’ah yakni persatuan umat pada kalimat kebenaran.



Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :



يا أيها الناس عليكم بالطاعة والجماعة فإنهما حبل الله الذي أمر به, وإن ما تكرهون في الجماعة والطاعة هو خير مما تستحبون في الفرقة .



“ Wahai manusia, harus bagimu untuk ta’at dan berjama’ah karena keduanya adalah hablullah yang telah Allah perintahkan untuk kita pegangi. Sesungguhnya apa yang kamu benci di dalam jama’ah dan ta’at,masih lebih baik dari apa yang kamu sukai di dalam perpecahan “.



Ibnu al-Mubarak juga berkata :



إن الجماعة حبل الله فاعتصموا منه بعروته الوثقى لمن دانا



“ Sesungguhnya jama’ah (persatuan) adalah tali Allah, maka peganglah persatuan itu dengan talinya yang kokoh bagi yang beragama “.



Bersatu dalam agama Allah atas dasar aqidah yang benar, bersatu atas dasar al-Quran dan Hadits. Bersatu dalam kalimatul haq. Dan jangan berpecah belah dengan sebab mengikuti hawa nafsu atau sebab dasar aqidah yang salah dengan tidak mengikuti petunjuk al-Quran, ikutilah jama’ah sebab Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam telah menjanjikan bahwa umatnya tidak akan bersatu pada kebatilan dan kesesatan, beliau bersabda :



إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم



“ Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat banyak perselisihan (yang menyebabkan perpecahan), maka ikutilah yang mayoritasnya “.



Walhamdulillah tsumma Alhamdulillah, sejak dulu hingga sekarang golongan mayoritas umat Rasulullah dari seluruh belahan dunia adalah Ahlus sunnah waljama’ah yang beraqidahkan asy’ariyyah dan maturudiyyah dan bermadzhabkan dengan salah satu empat madzhab. Walaupun imam-imam madzhab ada yang berbeda pendapat, namun mereka tetap satu aqidah dan rukun dalam satu rumpun dan tidak menyebabkan terjadinya perpecahan.



Dan inilah berkat terkabulnya doa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam :



أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: "سألت الله عز وجل أن لا تجتمع أمتي على ضلالة فأعطانيها "(المسند 6/396)



“ Sesungguhnya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Aku memohon pada Allah Azza wa Jalla agar tidak mengumpulkan umatku atas kesesatan, maka Allah mengabulkannya untukku “.



Perbedaan pendapat atau yang disitilahkan dengan IKHTILAF fil furu’ sangat ditoleran oleh Islam sebab dalam ulfah (persatuan) saja pasti terjadi perbedaan pendapat. Dari sinilah Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إِخْتِلاَفِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ



“ Perbedaan pendapat umatku adalah sebuah rahmat “.



Sebab perbedaan pendapat di antara ulama khususnya imam-imam madzhab didasari dengan ijtihad di dalam menggali hukum langsung dari al-Quran dan Hadits dengan kaidah-kaidah yang mereka munculkan dari dalil-dalil ijmali (global) atau tafsili (terperinci). Maka jika ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat satu pahala dan jika benar akan mendapat dua pahala. Ikhtilaf fil furu’ ini pun juga terjadi di masa sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Oleh sebab inilah al-Imam Qurthubi setelah menafsirkan ayat di atas, beliau berkomentar :



وليس فيه دليل على تحريم الاختلاف في الفروع ; فإن ذلك ليس اختلافا إذ الاختلاف ما يتعذر معه الائتلاف والجمع ، وأما حكم مسائل الاجتهاد فإن الاختلاف فيها بسبب استخراج الفرائض ودقائق معاني الشرع ; وما زالت الصحابة يختلفون في أحكام الحوادث ، وهم مع ذلك متآلفون



“ Ayat itu bukanlah dalil atas pengharaman Ikhtilaf fil furu (perbedaan pendapat dalam hal furu’/fiqih), karena itu bukanlah disebut perselisihan sebab Ikhtilaf itu adalah suatu hal yang pasti terjadi dan ditoleran dalam I’tilaf dan jama’ (persatuan). Adapun hukum masalah-masalah ijtihad, maka ikhtilaf / perbedaan pendapat yang terjadi di dalamnya menghasilkan perkara-perkara fardhu dan makna-makna syare’at yang lembut, dan sungguh para sahabat selalu berikhtilaf / berbeda pendapat di dalam hokum-hukum yang terjadi namun mereka tetap bersatu “.



Imam Syathibi pun juga berkata :



ووجدنا أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من بعده قد اختلفوا في أحكام الدين، ولم يتفرقوا ولا صاروا شيعاً لأنهم لم يفارقوا الدين وإنما اختلفوا فيما أذن هم من اجتهاد في الرأي والاستنباط من الكتاب والسنة فيما لم يجدوا فيه نصاً .أما الافتراق فيؤدي إلى التنازع والقتال والتكفير ومن ثم دخول النار, كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة



“ Kami mendapati para sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam setelah kewafatan beliau telah berbeda pendapat dalam hokum-hukum agama namun mereka tidaklah saling berpecah belah karena sesungguhnya mereka tidaklah berpecah belah dalam agama. Sesungguhnya mereka berbeda pendapat hanyalah di dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalam pemikiran dan istinbath dari al-Quran dan Hadits dari persoalan-persoalan yang mereka tidak menemukan nashnya. Adapun Iftiraq (perpecahan) maka dapat menyebabkan pertikaian, perperangan dan pengkafiran dan dari sanalah penyebab masuknya ke dalam neraka sebagaimana Rasul bersabda “ dan akan beriftiraq umatku menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan “.



Iftiraq dan Ikhtilaf



Iftiraq.



Maka di sini kita harus bisa membedakan antara IFTIRAQ (perpecahan) dan IKHTILAF (perbedaan pendapat) agar tidak salah paham memahami ayat di atas.



Dari keterangan dan dalil-dalil di atas bisa kita pahami bahwa Iftiraq yang tercantum dalam al-Quran bermakna :

Pertama : Iftiraq fid diin (berpecah belah dalam lingkup agama), Yaitu berselisih dalam hal yang sudah qoth’i dalam al-Quran, berselisih dalam hal yang bersifat prinsipil seperti berselisih dalam hal Aqidah, berselisih dalam hal min dharuratud diin / perkara yang sudah ditentukan dalam agama.



Allah Ta’ala berfirman :



إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ



“ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am : 159)



Kedua : Iftiraq ‘anil jama’ah yaitu bercerai berai dari kelompok / persatuan kaum muslimin. Kelompok kaum muslimin di sini adalah umumnya umat muslim di masa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dan orang-orang yang masih teguh di atas manhaj Nabi dan para sahabatnya setelah terjadinya perpecahan, merekalah yang disebut ahlus sunnah waljama’ah. Tentunya dengan sanad yang menyambung pada mereka, sebab banyak yang mengaku Ahlus sunnah tapi pemahamannya bertolak belakang dengan pemahaman sahabat sebab tidak ada sanad sehingga pemahaman mereka `terputus dari pemahaman ulama salaf.



Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة , ويد الله مع الجماعة و من شذ شذ إلى النار



“ Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan / menyatukan umatku di atas kesesatan, kekuasaan Allah bersama jama’ah, barangsiapa yang menyempal (dari jama’ah), maka dia telah menyempal menuju neraka “.



Ikhtilaf.



Sedangkan ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang. Yakni pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin.



Ikhtilaf ini bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat dua pahala. Kadang kala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Dan Terkadang dalam al-Quran dan hadits disebutkan pelarangan ikhtilaf, maka yang dimaksud adalah ikhtilaf yang menyebabkan perpecahan (iftiraq) bukan ikhtilaf furu’iyyah yang berdasarkan ijtihad dan niat yang tulus.



Pada perkembangan selanjutnya ikhtilaf ini menjadi sebuah istilah untuk suatu ilmu yang membahas ikhtilaf-ikhtilaf / perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah dan terkenal dengan istilah Ilmu Khilaf yakni ilmu yang membahas cara beristinbath / menggali hukum dari dalil-dalil ijmali dan tafsili yang diperankan oleh para ulama mujtahid. Dan ikhtilaf fil furu’ inipun juga terjadi pada masa sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Diriwayatkan oleh imam Baihaqi Rahimahullah di dalam kitabnya al-madkhal dengan sanadnya yang bersambung pada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



مهما أوتيتم من كتاب الله فالعمل به لا عذر لأحد في تركه، فإن لم يكن في كتاب الله فسنة مني ماضية، فإن لم تكن في سنة مني فما قاله أصحابي، إن أصحابي بمنزلة النجوم في السماء، فأيما أخذتم به اهتديتم، واختلاف أصحابي لكم رحمة



“ Ketika kalian diberikan kitab Allah, maka mengamalkannya harus dan tak ada alas an meninggalkannya. Jika kalian tidak menemukan (jawaban) di kitab Allah, maka di dalam sunnahku yang terdahulu. Jika kalian tidak menemukan di dalam sunnahku, maka lihatlah apa yang diucapkan para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapa saja dari mereka yang kalian pegang, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. Perbedaan di antara sahabatku adalah rahmat “.



Dari hadits tersebut terdapat beberapa faedah di antaranya :



1. Kabar dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam akan adanya perbedaan (ikhtilaf) di dalam hal furu’iyyah (cabang syare’at) dan ini termasuk mu’jizat beliau tentang hal-hal yang gaib.



2. Setiap ulama yang berijtihad sesungguhnya di atas petunjuk, maka tidak boleh mencela atau menyalahkan mereka. Siapa saja di antara ulama tersebut yang kita pilih sungguh di atas petunjuk.



Diceritakan oleh Khatib al-Baghdadi di dalam kitabnya Ar-Ruwaah “ Harun ar-Rasyid berkata kepada imam Malik bin Anas : “ Wahai Abu Abdillah (imam Malik), engkau mengarang dan menulis kitab ini lalu engkau menyebarkan di semua penjuru Islam agar umat membawanya ? Maka imam Malik menjawab :



إن اختلاف العلماء رحمة من الله على هذه الأمة، كل يتبع ما صح عنده، وكل على هدى، وكل يريد الله



“ Sesungguhnya perbedaan para ulama itu rahmat dari Allah untuk umat ini. Setiap “ulama” mengikuti apa yang mereka pandang sahih. Dan semuanya di atas petunjuk dan masing-masing hanya berharap Allah “.





Pada intinya yang dilarang Allah Ta’ala adalah berselisih dalam hal aqidah, berselisih yang menyebabkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan atau disebut dengan istilah iftiraq atau ikhtilaf fil aqidah atau fiddiin atau juga ihktilaf fil kitab.



Sedangkan Allah mentolerir perbedaan pendapat dalam hal furu’iyyah atau fiqhiyyah dan ini merupakan suatu bentuk ijtihad yang berdasarkan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah.



Maka iftiraq pasti menyebabkan perpecahan dan permusuhan, dan tidak semua ikhtilaf menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Iftiraq sudah pasti ikhtilaf dan ikhtilaf belum tentu ifitiraq.



Dan sering kali ada sebagian kelompok khususnya kelompok yang menyebut ajarannya dengan manhaj salafiyyah, mencampur adukkan antara masalah ikhtilaf / khilafiyyah dengan masalah iftiraq. Sehingga terkadang mereka memperuncing masalah-masalah khilafiyyah yang ada dan menyalahkan orang yang berikhtilaf. Sungguh ini suatu kesalahan fatal dan kejahilan yang nyata.



Keadaan orang yang beriftiraq juga merupakan ciri-ciri ajaran sesat :



Di antaranya adalah kedaannya dalam “ syiqaq yang jauh “, sebagaimana Allah jelaskan dalam al-Quran :



ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ



“ Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Kitab Suci dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Kitab Suci itu, benar-benar dalam syiqaq yang jauh “ (QS. Al-Baqarah : 172)



Apakah makna syiqaq dalam ayat tersebut ?



Syiqaq dalam kitab-kitab tafsir memiliki tiga makna :



Makna pertama : al-mu’aadah wal munaaza’ah yaitu permusuhan dan perselisihan. Orang yang beriftiraq (bercerai berai), maka mereka telah jauh memusuhi kebenaran dan berselisih dalam hal kebenaran. Inilah keadaan orang-orang yang beriftiraq baik dari kalangan kaum kafir sebgaimana firman Allah Ta’ala :



بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ



“ Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit “ (QS. Shaad : 2).



Yaitu kesombongan dan permusuhan sengit kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.



Atau pun dari kalangan ahli firqah dan bid’ah dari umat muslim itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :



لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ



“ agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat “ (QS. Al-Hajj : 53)



Dalam ayat itu diejelaskan bahwa apa yang dimasukkan oleh setan, dijadikan oleh Allah sebagai fitnah / kesesatan bagi dua golongan yaitu orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit syaq dan nifaq dan orang-orang yang keras hatinya mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dan mereka semua disebut orang-orang yang dzhalim. Dan orang-orang yang dhzalim tersebut di dalam permusuhan yang sangat.



Maka ahlul firqah yang menyempal dari jama’ah kaum muslimin, mereka di dalam permusuhan yang sangat dan memecah belah umat demikian juga terjadi permusuhan di antara golongan mereka sendiri sehingga kelompok mereka pun beriftiraq / berpecah belah dan itulah bukti kebathilan ajaran mereka, sebab mereka bukanlah mengikuti satu jalan (al-haq) melainkan mengikuti beberapa jalan kesesatan.



Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini :





وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون



“ Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(AL-An’am : 153)



Imam Ibnul Katsir berkata tentang ayat tersebut :



إنما وحد سبيله لأن الحق واحد ولهذا جمع السبل لتفرقها وتشعبها



“Sesungguhnya Allah mennyebutkan kata ‘sabil’ dengan bentuk tunggal, karena sesungguhnya kebenaran itu satu. Sebab itulah Allah menyebutkan kata ‘subul’dengan bentuk jama’ karena perpecahan dan bercabang-cabangnya “.



Abdullah bin Abbas pun yang dijuluki dengan tarjuman al-Quran menafsirkan ayat :

ولا تتبعوا السبل



“ dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) “.





Beliau menafsirkan :



لا تتبعوا الضلالات

“ Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan kesesatan “.



Dan jika kita mau melihat di al-Quran, maka kita dapati kalimat Shirath disebutkan dengan bentuk mufrad / satu sebab Thariqul haq hanyalah satu yaitu Shirathul mustaqim, al-Quranul karim sesuai pemahman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Makna kedua : syiqaq bisa bermakna asy-syaqq atau al-fashlu yaitu memecah dan memutuskan. Artinya orang yang beriftiraq adalah orang yang memcah dan memutus dari barisan jama’ah muslimin, terlepas dari kelompok mayoritas umat muslim.



Makna ketiga : al-masyaqqah yaitu beban dan berat. Artinya orang yang beriftiraq seolah-olah berbuat apa yang memberatkan dan menyakiti kelompok lainnya.





Maka dari keterangan di atas, bisa kita tarik kesimpulannya sebagai berikut :



1. Iftiraq adalah perselisihan dalam masalah ushuluddin atau aqidah yang pasti menyebabkan terjadinya permusuhan dan perpecahan.



2. Ikhtilaf tidak berkonotasi negative. Ikhtilaf yang negative adalah ikhtilaf di dalam aqidah sedangkan ikhtilaf yang positif adalah ikhtilf yang terjadi dalam masalah furu’iyyah, fiqhiyyah atau ijtihadiyyah sebagaimana ikhtilaf yang terjadi di antara ulama madzhab.



3. Salah besar memperuncing masalah ikhtilaf yang ada. Dan salah fatal mencampur adukkan masalah ikhtilaf ke dalam masalah iftiraq.



4. Di antara cirri-ciri aliran sesat adalah ; memecah belah umat Islam, saling bermusuhan, memisahkan diri dari barisan jama’ah muslimin dan terjadinya perselisihan dan perpecahan di antara golongan mereka sendiri sebagai bukti ajaran mereka tidak mengikuti al-haq (kebenaran) dan hanya mengikuti jalan-jalan sesat dan hawa nafsu.


SYAIKH ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI, Benarkah Beliau Seorang MU'TAZILAH..Ataukah Ahlussunnah..??

November 27, 2013


Asy’ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy’ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan Asy’ariyyuun atau Asy'ariah (pengikut mazhab al-Asy’ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy’ari, yang kemudian dikenal sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, memiliki garis keturunan (garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir 55 tahun setelah wafatnya al-Imam Syafi’i..

Pada awalnya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu’tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). kemudian Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).

Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asy'ariah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.

Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.

Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.

Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).

Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.

Belakangan, Asy’ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama’ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy’ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy’ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’ ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah (lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, Dar ‘Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).

Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy’ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy’ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama’ah.

Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy’ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.

Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan aliran bid’ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:

“Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy’ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid’ah dan perkara baru dalam agama Islam”(Ensiklopedia Bid’ah, hal. 140).

Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:

“Tetapi, apakah Asya’irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya’irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama’ah” ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).

UNGKAPAN DIATAS ADALAH MERUPAKAN SEBUAH FITNAH DAN PENIPUAN BESAR TERHADAP ASY'ARIYAH, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.

Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan hanya milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasukAhlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah(lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).

Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat islam sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:

إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)

“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin,Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).

وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)

“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)”(Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).

كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)

“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)

وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)

“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).

والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)

“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”(Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).

Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan)Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.

Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.

Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.

Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.

Sebagai contoh, kaum Salafi Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy’ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah,kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy’ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka? Wallohu a’lam bish-Showab











Followers

Copyright © Islamic. All rights reserved. Template by CB Blogger