Sabtu, 30 November 2013

ANJURAN BERDZIKIR

November 30, 2013


Mendapatkan pujian dan surga bagi para pendzikir..Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Ahzab, 33:35:

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunandan pahala yang besar."



Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman -dalam hadits qudsi: “Aku adalah menurut sangkaan -keyakinan- hambaKu kepadaKu. Aku adalah beserta hambaKu itu apabila ia berdzikir -ingat- kepadaKu. Maka jikalau ia berdzikir kepadaKu dalam dirinya, maka Akupun ingat padanya dalam diriKu dan jikalau ia berdzikir kepadaKu di kalangan orang banyak, maka Aku ingat pada orang itu di kalangan makhluk yang lebih baik dari mereka itu -yakni di kalangan para malaikat.” (Muttafaq ‘alaih)



Adapun dalam hadits, terdapat beberapa riwayat yang mengungkapkan keutamaan majalis dzikr, diantaranya adalah:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ ،قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ"

"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi para malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya." (HR. Muslim)



Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ مِنْ أَهْلِ الْكِرَمِ، فَقِيْلَ مَنْ أَهْلُ الْكِرَمِ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟، قَالَ مَجَالِسُ الذِّكْرِ فِيْ الْمَسَاجِدِ. (رواه أحمد)

"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman pada hari kiamat, 'orang-orang yang berkumpul akan mengetahui siapakah mereka yang termasuk ahlul karam (orang yang mulia)', seorang sahabat bertanya, siapakah ahlul kiram ya Rasulullah SAW?, beliau menjawab, "majlis-majlis dzikir di masid-masjid." (HR. Ahmad)



Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا وَمَا رِياَضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟،قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ، فَإِنَّ لِلَّهِ تَعَالىَ سَيَّارَاتٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حَلَقَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ. (رواه أحمد والترمذي والبيهقي)

Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka kelilingilah ia." Sahabat bertanya, "apakah taman-taman surga wahai Rasulullah SAW?", beliau menjawab, "yaitu halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya." (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi)

PROBLEMATIKA BID'AH

November 30, 2013



KAJIAN TERHADAP DALIL DAN ARGUMEN PENDUKUNG SERTA PENOLAK ADANYA BID'AH HASANAH




Kata Bid'ah dalam Dunia Islam merupakan lawan kata sunnah, Bid'ah dikatakan oleh Abu Muhammad 'Izzudin Bin Abdussalam Sebagai, "Fil'un Ma lam yu'had fi 'ashri rasulillahi sholallohu 'alaihi wa salam ". Mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal (tidak pernah terjadi) pada masa Rosulullohi SAW. Sedangkan kata Sunnah didefinisikan sebagai, "Al Thariqoh al maslukah fi al din bi an salakaha Rosulallohi sholallohu alaihi wassalam aw al-salaf al-sholih min ba'dihi" (jalan yang dijalani dalam agama karena biasa dijalani oleh Rosululloh dan orang orang terdahulu yang sholeh. setelah Rosululloh SAW wafat).





Perdebatan yang sering terjadi di kalangan masyarakat mengenai konsep bid‟ah dan penilaian terhadap

suatu perbuatan itu, temasuk bid‟ah atau tidak? Apakah setiap bid‟ah itu pasti sesat ataukah ada bid‟ah yang

khasanah, yang pada umumnya masyarakat masih belum banyak mengetahui persoalan mendasar yang harus

menjadi pegangan? Boleh jadi, hal ini dikarenakan mereka belum memahami secara utuh dasar normatif

konsep bid‟ah itu sendiri dan beberapa pendapat ulama serta argumen masing-masing. Kebanyakan

masyarakat hanya mengetahui secara parsial, maksudnya hanya mengetahui/membaca satu pendapat dan

argumen yang sesuai, membenarkan amaliah mereka sendiri tanpa memperhatikan, dan memahami pendapat

lain yang sesungguhnya juga berdasarkan dalil-dalil dari sumber yang sama.

Salah satu isu besar yang mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam adalah isu bid‟ah. Akhir-akhir

ini, kata bid‟ah sering terdengar, dan digunakan untuk memberi label saudara-saudara yang seiman (sesama

muslim) sehingga sebagian umat Islam mengklaim saudara yang seiman sebagai kelompok sesat (ahli bid‟ah).

Oleh karena aliran sesat, maka harus segera dicarikan jalan untuk memberantasnya atau bahkan





menyingkirkannya. Sementara itu, sebagian umat Islam lainnya toleran terhadap kelompok yang dianggap

sesat itu. Bagi kelompok yang dituduh sesat tentu merasa sakit hati, bahkan marah-marah karena dirinya

dianggap sesat oleh saudaranya yang seiman.

Kasus yang mudah kita cermati, misalnya maraknya umat Islam yang saling bermusuhan dan saling

mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid‟ah. Yakni antara kelompok Ahlussunnah,

Mu‟tazilah, Khawarij, dan Murji‟ah, antara NU dan Muhammadiyah, antara aliran Salafi, Wahabi, Ahmadiyah

dengan aliran-aliran lainnya. Dalam beberapa aktivitas ibadah maupun sosial, mereka saling mengklaim

aktivitas masing-masing sebagai yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Di Pakistan, Irak, dan Iran,

misalnya, isu bid‟ah telah menyulut perang saudara berdarah antarumat Islam.

Mengkaji isu bid‟ah sudah barang tentu akan bersinggungan dengan dasar yuridis, etis-filosofis, dan

sosiologis-antropologis dari konsep bid‟ah yang harus dicari sandaran hukumnya (normatif) dalam al-Qur‟an,

terutama dari al-Sunnah, dan beberapa pendapat ulama terkait dengan bid‟ah. Tulisan ini mencoba

memaparkan, dan menelaah landasan hukum normatif konsep bid‟ah dan beberapa pandangan ulama beserta

argumen masing-masing melalui pendekatan kebahasaan.

Permasalahan interpretasi konsep bid‟ah, adakah bid‟ah hasanah dan batas-batas perbedaan bid‟ah dengan

sunnah secara tegas dalam kitab-kitab Hadis, tafsir, maupun kitab fiqih. Menurut pengamatan peneliti masih






Jumat, 29 November 2013

QUNUT DALAM SHOLAT SHUBUH BID'AH ATAU SUNNAH

November 29, 2013

Keterangan singkat mengenai membaca Qunut dalam Sholat Shubuh

Golongan pengingkar berpendapat lebih jauh lagi, yaitu menganggap qunut dalam sholat shubuh sebagai bid’ah mungkar yang harus dihindari. Karena ke-egoisan memegang pahamnya ini, mereka ini tanpa segan-segan mencela orang yang mengamalkannya, dan melontarkan ucapan-ucapan yang justru bisa mendatangkan dosa dan bertentangan dengan akhlak yang diajarkan Nabi saw!!

Bagaimana mungkin doa qunut yang masih ada haditsnya itu dikatakan bid’ah mungkar?, sedangkan para sahabat menambah bacaan dalam sholat ,yang telah kami kemukakan, yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi saw, tidak dipersalahkan oleh Nabi saw, malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi pembacanya?

Sebelum kami mengutip beberapa hadits tentang qunut, kami tekankan dahulu, bahwa menurut para pendukungnya, qunut pada shalat shubuh itu mempunyai dasar dari amaliyah Rasulullah saw dan beliau saw melakukannya, bukan hanya untuk qunut nazilah (bencana) saja. Kedudukan riwayatnya pun cukup kuat, karena diriwayatkan para rawi yang terpercaya, antara lain Al-Bukhari dan Muslim, dan diamalkan para Salaf, Imam Syafi’i, Imam Malik dan lainnya.



Dalil-dalil kesunnatan yang berkaitan membaca Qunut ketika sholat, khususnya sholat Subuh.

– Dalam buku Fiqih Sunnah, oleh Sayid Sabiq ,bhs.Indonesia, jilid 2, edisi kedua th.1977 hal.41 dan 43 disebutkan, bahwa Imam Syafi’i mensunnahkan qunut dalam sholat shubuh, dengan berdalil hadits, dari Anas bin Malik ra. Anas ra pernah ditanya, ‘apakah Nabi saw berqunut dalam sholat shubuh? Ia (Anas ra) menjawab, Ya. Ditanya pula, ‘sebelum rukuk atau sesudahnya’? Ia menjawab, ‘sesudah rukuk’ (HR.Jama’ah, kecuali Turmudzi, dari Ibnu Sirin). Juga imam Syafi'i berdalil dengan hadits lainnya, dari Anas bin Malik ra: “Rasulallah saw itu selalu berqunut dalam sholat shubuh, hingga meninggalkan dunia” (HR. Ahmad, Bazzar, Daruquthni, dan dishohihkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim). Imam Nawawi dalam kitabnya Adzkarun-Nawawiyyah mengomentari, bahwa hadits tersebut shohih.

Adapun Ibn Hajar Al-Asqolani berkomentar dalam takhrij-nya bahwa hadits tersebut hasan lighoirihi (baik, karena didukung riwayat lainnya). Sedangkan lafadh qunut shubuh menurut Imam Syafi’i, ialah yang diajarkan Nabi saw kepada Al-Hasan bin Ali ketika qunut witir, yaitu “Allahummah diini fiiman hadaita …dan seterusnya”(HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, dan lain-lain).



– Hadits dari Al-Barra’ bin Azib ra yang berkata, bahwa ‘Nabi saw dahulu melakukan qunut pada shalat maghrib dan shubuh’ (HR Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi). At-Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ II/505 mengatakan: “ Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah suatu yang wajib atau karena ijmak ulama telah menunjukkan bahwa qunut pada shalat maghrib itu sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”.



– Abubakar Jabir Al-Jazairi dalam kitabnya Minhajul Muslim mengatakan, bahwa disunnahkan qunut subuh setelah rukuk dan dikomentari dalam tahkik kitab tersebut, bahwa qunut subuh telah tsabit dalam shahihain!



Al-Hafidh Al-Iraqi ,guru dari Ibnu Hajar, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasthalani dalam Irsyadussariy syarah shahih Bukhari menjelaskan, bahwa qunut shubuh itu diriwayat kan oleh Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Abbas [ra]. Kemudian beliau (al-Hafidh) berkomentar, ‘telah sah dari mereka ( para shahabat ) dalil tentang qunut tatkala terjadi pertentangan antara pendapat yang menetapkan dan meniadakan, maka didahulukan pendapat yang menetapkan’.



Sebagian ulama yang mengingkari hadits qunut shubuh,antara lain Ibnu Taimiyah, mengatakan sanad hadits itu lemah, karena melalui seorang rawi yang bernama Abu Ja’far Ar-Razi, yang nama aslinya Isa bin Abi Isa. Padahal menurut pakar hadits lainnya, bahwa Abu Ja’far Ar-Razi, nama aslinya adalah Isa Bin Maahaan, layak diterima haditsnya. Yahya bin Ma’in ,guru dari Imam Bukhori, mengatakan bahwa Abu Ja’far adalah orang Tsiqoh. Abu Hatim pun berkata demikian, bahwa Abu Ja’far itu adalah Tsiqotun Shoduq (terpercaya lagi jujur). Juga berdasarkan amalan para Salaf, para pakar fiqih,, maka hadits qunut sholat shubuh dapat diterima!



– Hadits dari Anas ra.:“Bahwa Nabi saw pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Adapun pada shalat subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”. Diantara ulama yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhamad Ali al-Bakhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat didalam kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga diriwayatkan pula oleh Daraquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang sahih.



– Hadits dari Awam bin Hamzah dimana beliau berkata: “Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat subuh. Beliau berkata: ‘Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : ‘Fatwa siapa ? Beliau menjawab : ‘Fatwa Abubakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum’“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini hasan). Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan.



– Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Thabi’i: “Ali ra qunut pada shalat subuh“. (HR.Baihaqi dan berkata hadits ini sahih lagi masyhur).



– Hadits riwayat Baihaqi dari Abu Rofi’ : “ Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ “.



Demikianlah beberapa dalil yang dipakai oleh para ulama Syafi’iyah tentang qunut subuh.



BERIKUT LAFAL DO,A QUNUT SUBUH :







ALLAHUMMAHDINII FIIMAN HADAIIT

WA'AAFINII FIIMAN 'AAFAIIT

WA TAWALLANII FIIMAN TAWALLAIIT

WA BAARIKLII FIIMAA A'THOIIT

WAQINII SYARROMAA QODLOIIT

FAINNAKA TAQDHII WALAA YUQDLOO 'ALAIIK

WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIIT

WALAA YA'IZZU MAN 'AADAIIT

TABAAROKTA ROBBANAA WATA'AALAIIT

FALAKAL HAMDU 'ALA MAA QODLOIIT

WAASTAGHFIRUKA WAATUUBU ILAIIK

WA SHOLLALLOOHU 'ALA SAYYIDINAA MUHAMMADIN NABIYYIL UMMIYYI WA'ALAA AALIHI WASHOHBIHI WASALLAM





Ya Allah berikanlah aku petunjuk sebagaimana orang yang Engkau beri petunjuk

Dan berikanlah keselamatan padaku sebagaimana mereka yang telah Engkau beri keselamatan

Dan peliharalah aku sebagaimana mereka yang telah Engkau pelihara

Dan berikanlah keberkahan pada sesuatu yang Engkau berikan padaku

Dan jagalah aku dari kejahatan apa saja yang telah Engkau tetapkan

Karena sesungguhnya Engkaulah yang menghukumi dan tidak dihukumi

Dan sesunguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau tolong

Dan tidak mulia orang yang Engkau musuhi

Maka bagi Engkaulah segala pujian di atas apa yang Engkau hukumkan

Sesungguhnya Maha Agunglah Engkau dan Maha Luhurlah Engkau

Aku memohon ampun dari-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu

 


Rabu, 27 November 2013

Makna Iftiraq (perpecahan) dan Ikhtilaf (Perbadaan) Yang sebenarnya di dalam islam

November 27, 2013
Ada sebagian dari kelompok umat islam yang sering mempermasalahkan dan memperuncing suatu persoalan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah atau khilafiyyah, misalnya masalah membaca qunut sewaktu sholat subuh, sholat Di Masjid yang sekomplek dengan pekuburan, membaca al-Quran di pekuburan, isbal dan lainnya. Sehingga mereka berani memvonis ‘SALAH’ orang lain yang bertentangan dengan mereka dan merasa pendapatnya paling benar dari yang lainnya. Sungguh mereka telah salah memposisikan mana masalah ikhtilaf dan mana masalah iftiraq dan tidak memahami dengan baik definisi dan makna dari keduanya.



Di sini kita akan mengkaji secara singkat makna dari ikhtilaf dan iftiraq dan perbedaan di antara keduanya. Dan nanti akan diketahui siapa sebenarnya yang telah berbuat iftiraq.





Allah Subhanu wa ta’aala melarang umat muslim berpecah belah :



وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ



“ Berpeganglah kalian dengan tali Allah dan janganlah bercerai berai “ (QS.Ali-Imran : 103)



Kalimat Jamii’an (Semuanya / bersatu) dalam ilmu tata bahasa arab berkedudukan menjadi haal (keadaan), maka artinya “ Jadilah kalian dalam keadaan bersatu dengan berpegang teguh pada tali Allah “



Para ulama ahli tafsir mengartikan tali Allah (hablullah) dengan agama Allah, ada yang menafsirkan dengan al-Quran dan janji Allah. Ada juga yang mengartikan tali Allah dengan berjama’ah yakni persatuan umat pada kalimat kebenaran.



Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu berkata :



يا أيها الناس عليكم بالطاعة والجماعة فإنهما حبل الله الذي أمر به, وإن ما تكرهون في الجماعة والطاعة هو خير مما تستحبون في الفرقة .



“ Wahai manusia, harus bagimu untuk ta’at dan berjama’ah karena keduanya adalah hablullah yang telah Allah perintahkan untuk kita pegangi. Sesungguhnya apa yang kamu benci di dalam jama’ah dan ta’at,masih lebih baik dari apa yang kamu sukai di dalam perpecahan “.



Ibnu al-Mubarak juga berkata :



إن الجماعة حبل الله فاعتصموا منه بعروته الوثقى لمن دانا



“ Sesungguhnya jama’ah (persatuan) adalah tali Allah, maka peganglah persatuan itu dengan talinya yang kokoh bagi yang beragama “.



Bersatu dalam agama Allah atas dasar aqidah yang benar, bersatu atas dasar al-Quran dan Hadits. Bersatu dalam kalimatul haq. Dan jangan berpecah belah dengan sebab mengikuti hawa nafsu atau sebab dasar aqidah yang salah dengan tidak mengikuti petunjuk al-Quran, ikutilah jama’ah sebab Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam telah menjanjikan bahwa umatnya tidak akan bersatu pada kebatilan dan kesesatan, beliau bersabda :



إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم



“ Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, jika kalian melihat banyak perselisihan (yang menyebabkan perpecahan), maka ikutilah yang mayoritasnya “.



Walhamdulillah tsumma Alhamdulillah, sejak dulu hingga sekarang golongan mayoritas umat Rasulullah dari seluruh belahan dunia adalah Ahlus sunnah waljama’ah yang beraqidahkan asy’ariyyah dan maturudiyyah dan bermadzhabkan dengan salah satu empat madzhab. Walaupun imam-imam madzhab ada yang berbeda pendapat, namun mereka tetap satu aqidah dan rukun dalam satu rumpun dan tidak menyebabkan terjadinya perpecahan.



Dan inilah berkat terkabulnya doa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam :



أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قال: "سألت الله عز وجل أن لا تجتمع أمتي على ضلالة فأعطانيها "(المسند 6/396)



“ Sesungguhnya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Aku memohon pada Allah Azza wa Jalla agar tidak mengumpulkan umatku atas kesesatan, maka Allah mengabulkannya untukku “.



Perbedaan pendapat atau yang disitilahkan dengan IKHTILAF fil furu’ sangat ditoleran oleh Islam sebab dalam ulfah (persatuan) saja pasti terjadi perbedaan pendapat. Dari sinilah Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إِخْتِلاَفِ أُمَّتِي رَحْمَةٌ



“ Perbedaan pendapat umatku adalah sebuah rahmat “.



Sebab perbedaan pendapat di antara ulama khususnya imam-imam madzhab didasari dengan ijtihad di dalam menggali hukum langsung dari al-Quran dan Hadits dengan kaidah-kaidah yang mereka munculkan dari dalil-dalil ijmali (global) atau tafsili (terperinci). Maka jika ijtihad mereka salah, mereka tetap mendapat satu pahala dan jika benar akan mendapat dua pahala. Ikhtilaf fil furu’ ini pun juga terjadi di masa sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Oleh sebab inilah al-Imam Qurthubi setelah menafsirkan ayat di atas, beliau berkomentar :



وليس فيه دليل على تحريم الاختلاف في الفروع ; فإن ذلك ليس اختلافا إذ الاختلاف ما يتعذر معه الائتلاف والجمع ، وأما حكم مسائل الاجتهاد فإن الاختلاف فيها بسبب استخراج الفرائض ودقائق معاني الشرع ; وما زالت الصحابة يختلفون في أحكام الحوادث ، وهم مع ذلك متآلفون



“ Ayat itu bukanlah dalil atas pengharaman Ikhtilaf fil furu (perbedaan pendapat dalam hal furu’/fiqih), karena itu bukanlah disebut perselisihan sebab Ikhtilaf itu adalah suatu hal yang pasti terjadi dan ditoleran dalam I’tilaf dan jama’ (persatuan). Adapun hukum masalah-masalah ijtihad, maka ikhtilaf / perbedaan pendapat yang terjadi di dalamnya menghasilkan perkara-perkara fardhu dan makna-makna syare’at yang lembut, dan sungguh para sahabat selalu berikhtilaf / berbeda pendapat di dalam hokum-hukum yang terjadi namun mereka tetap bersatu “.



Imam Syathibi pun juga berkata :



ووجدنا أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من بعده قد اختلفوا في أحكام الدين، ولم يتفرقوا ولا صاروا شيعاً لأنهم لم يفارقوا الدين وإنما اختلفوا فيما أذن هم من اجتهاد في الرأي والاستنباط من الكتاب والسنة فيما لم يجدوا فيه نصاً .أما الافتراق فيؤدي إلى التنازع والقتال والتكفير ومن ثم دخول النار, كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة



“ Kami mendapati para sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam setelah kewafatan beliau telah berbeda pendapat dalam hokum-hukum agama namun mereka tidaklah saling berpecah belah karena sesungguhnya mereka tidaklah berpecah belah dalam agama. Sesungguhnya mereka berbeda pendapat hanyalah di dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalam pemikiran dan istinbath dari al-Quran dan Hadits dari persoalan-persoalan yang mereka tidak menemukan nashnya. Adapun Iftiraq (perpecahan) maka dapat menyebabkan pertikaian, perperangan dan pengkafiran dan dari sanalah penyebab masuknya ke dalam neraka sebagaimana Rasul bersabda “ dan akan beriftiraq umatku menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan “.



Iftiraq dan Ikhtilaf



Iftiraq.



Maka di sini kita harus bisa membedakan antara IFTIRAQ (perpecahan) dan IKHTILAF (perbedaan pendapat) agar tidak salah paham memahami ayat di atas.



Dari keterangan dan dalil-dalil di atas bisa kita pahami bahwa Iftiraq yang tercantum dalam al-Quran bermakna :

Pertama : Iftiraq fid diin (berpecah belah dalam lingkup agama), Yaitu berselisih dalam hal yang sudah qoth’i dalam al-Quran, berselisih dalam hal yang bersifat prinsipil seperti berselisih dalam hal Aqidah, berselisih dalam hal min dharuratud diin / perkara yang sudah ditentukan dalam agama.



Allah Ta’ala berfirman :



إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ



“ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’am : 159)



Kedua : Iftiraq ‘anil jama’ah yaitu bercerai berai dari kelompok / persatuan kaum muslimin. Kelompok kaum muslimin di sini adalah umumnya umat muslim di masa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dan orang-orang yang masih teguh di atas manhaj Nabi dan para sahabatnya setelah terjadinya perpecahan, merekalah yang disebut ahlus sunnah waljama’ah. Tentunya dengan sanad yang menyambung pada mereka, sebab banyak yang mengaku Ahlus sunnah tapi pemahamannya bertolak belakang dengan pemahaman sahabat sebab tidak ada sanad sehingga pemahaman mereka `terputus dari pemahaman ulama salaf.



Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة , ويد الله مع الجماعة و من شذ شذ إلى النار



“ Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan / menyatukan umatku di atas kesesatan, kekuasaan Allah bersama jama’ah, barangsiapa yang menyempal (dari jama’ah), maka dia telah menyempal menuju neraka “.



Ikhtilaf.



Sedangkan ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian orang. Yakni pada masalah-masalah furu' dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin.



Ikhtilaf ini bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar mendapat dua pahala. Kadang kala pihak yang salah juga pantas dipuji atas ijtihadnya. Dan Terkadang dalam al-Quran dan hadits disebutkan pelarangan ikhtilaf, maka yang dimaksud adalah ikhtilaf yang menyebabkan perpecahan (iftiraq) bukan ikhtilaf furu’iyyah yang berdasarkan ijtihad dan niat yang tulus.



Pada perkembangan selanjutnya ikhtilaf ini menjadi sebuah istilah untuk suatu ilmu yang membahas ikhtilaf-ikhtilaf / perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah dan terkenal dengan istilah Ilmu Khilaf yakni ilmu yang membahas cara beristinbath / menggali hukum dari dalil-dalil ijmali dan tafsili yang diperankan oleh para ulama mujtahid. Dan ikhtilaf fil furu’ inipun juga terjadi pada masa sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Diriwayatkan oleh imam Baihaqi Rahimahullah di dalam kitabnya al-madkhal dengan sanadnya yang bersambung pada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu beliau berkata; Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



مهما أوتيتم من كتاب الله فالعمل به لا عذر لأحد في تركه، فإن لم يكن في كتاب الله فسنة مني ماضية، فإن لم تكن في سنة مني فما قاله أصحابي، إن أصحابي بمنزلة النجوم في السماء، فأيما أخذتم به اهتديتم، واختلاف أصحابي لكم رحمة



“ Ketika kalian diberikan kitab Allah, maka mengamalkannya harus dan tak ada alas an meninggalkannya. Jika kalian tidak menemukan (jawaban) di kitab Allah, maka di dalam sunnahku yang terdahulu. Jika kalian tidak menemukan di dalam sunnahku, maka lihatlah apa yang diucapkan para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit, siapa saja dari mereka yang kalian pegang, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. Perbedaan di antara sahabatku adalah rahmat “.



Dari hadits tersebut terdapat beberapa faedah di antaranya :



1. Kabar dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam akan adanya perbedaan (ikhtilaf) di dalam hal furu’iyyah (cabang syare’at) dan ini termasuk mu’jizat beliau tentang hal-hal yang gaib.



2. Setiap ulama yang berijtihad sesungguhnya di atas petunjuk, maka tidak boleh mencela atau menyalahkan mereka. Siapa saja di antara ulama tersebut yang kita pilih sungguh di atas petunjuk.



Diceritakan oleh Khatib al-Baghdadi di dalam kitabnya Ar-Ruwaah “ Harun ar-Rasyid berkata kepada imam Malik bin Anas : “ Wahai Abu Abdillah (imam Malik), engkau mengarang dan menulis kitab ini lalu engkau menyebarkan di semua penjuru Islam agar umat membawanya ? Maka imam Malik menjawab :



إن اختلاف العلماء رحمة من الله على هذه الأمة، كل يتبع ما صح عنده، وكل على هدى، وكل يريد الله



“ Sesungguhnya perbedaan para ulama itu rahmat dari Allah untuk umat ini. Setiap “ulama” mengikuti apa yang mereka pandang sahih. Dan semuanya di atas petunjuk dan masing-masing hanya berharap Allah “.





Pada intinya yang dilarang Allah Ta’ala adalah berselisih dalam hal aqidah, berselisih yang menyebabkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan atau disebut dengan istilah iftiraq atau ikhtilaf fil aqidah atau fiddiin atau juga ihktilaf fil kitab.



Sedangkan Allah mentolerir perbedaan pendapat dalam hal furu’iyyah atau fiqhiyyah dan ini merupakan suatu bentuk ijtihad yang berdasarkan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah.



Maka iftiraq pasti menyebabkan perpecahan dan permusuhan, dan tidak semua ikhtilaf menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Iftiraq sudah pasti ikhtilaf dan ikhtilaf belum tentu ifitiraq.



Dan sering kali ada sebagian kelompok khususnya kelompok yang menyebut ajarannya dengan manhaj salafiyyah, mencampur adukkan antara masalah ikhtilaf / khilafiyyah dengan masalah iftiraq. Sehingga terkadang mereka memperuncing masalah-masalah khilafiyyah yang ada dan menyalahkan orang yang berikhtilaf. Sungguh ini suatu kesalahan fatal dan kejahilan yang nyata.



Keadaan orang yang beriftiraq juga merupakan ciri-ciri ajaran sesat :



Di antaranya adalah kedaannya dalam “ syiqaq yang jauh “, sebagaimana Allah jelaskan dalam al-Quran :



ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ



“ Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Kitab Suci dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Kitab Suci itu, benar-benar dalam syiqaq yang jauh “ (QS. Al-Baqarah : 172)



Apakah makna syiqaq dalam ayat tersebut ?



Syiqaq dalam kitab-kitab tafsir memiliki tiga makna :



Makna pertama : al-mu’aadah wal munaaza’ah yaitu permusuhan dan perselisihan. Orang yang beriftiraq (bercerai berai), maka mereka telah jauh memusuhi kebenaran dan berselisih dalam hal kebenaran. Inilah keadaan orang-orang yang beriftiraq baik dari kalangan kaum kafir sebgaimana firman Allah Ta’ala :



بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ



“ Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit “ (QS. Shaad : 2).



Yaitu kesombongan dan permusuhan sengit kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.



Atau pun dari kalangan ahli firqah dan bid’ah dari umat muslim itu sendiri. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :



لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ



“ agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat “ (QS. Al-Hajj : 53)



Dalam ayat itu diejelaskan bahwa apa yang dimasukkan oleh setan, dijadikan oleh Allah sebagai fitnah / kesesatan bagi dua golongan yaitu orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit syaq dan nifaq dan orang-orang yang keras hatinya mereka adalah orang-orang yang berbuat kesyirikan dan mereka semua disebut orang-orang yang dzhalim. Dan orang-orang yang dhzalim tersebut di dalam permusuhan yang sangat.



Maka ahlul firqah yang menyempal dari jama’ah kaum muslimin, mereka di dalam permusuhan yang sangat dan memecah belah umat demikian juga terjadi permusuhan di antara golongan mereka sendiri sehingga kelompok mereka pun beriftiraq / berpecah belah dan itulah bukti kebathilan ajaran mereka, sebab mereka bukanlah mengikuti satu jalan (al-haq) melainkan mengikuti beberapa jalan kesesatan.



Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini :





وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصاكم به لعلكم تتقون



“ Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”(AL-An’am : 153)



Imam Ibnul Katsir berkata tentang ayat tersebut :



إنما وحد سبيله لأن الحق واحد ولهذا جمع السبل لتفرقها وتشعبها



“Sesungguhnya Allah mennyebutkan kata ‘sabil’ dengan bentuk tunggal, karena sesungguhnya kebenaran itu satu. Sebab itulah Allah menyebutkan kata ‘subul’dengan bentuk jama’ karena perpecahan dan bercabang-cabangnya “.



Abdullah bin Abbas pun yang dijuluki dengan tarjuman al-Quran menafsirkan ayat :

ولا تتبعوا السبل



“ dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) “.





Beliau menafsirkan :



لا تتبعوا الضلالات

“ Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan kesesatan “.



Dan jika kita mau melihat di al-Quran, maka kita dapati kalimat Shirath disebutkan dengan bentuk mufrad / satu sebab Thariqul haq hanyalah satu yaitu Shirathul mustaqim, al-Quranul karim sesuai pemahman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.



Makna kedua : syiqaq bisa bermakna asy-syaqq atau al-fashlu yaitu memecah dan memutuskan. Artinya orang yang beriftiraq adalah orang yang memcah dan memutus dari barisan jama’ah muslimin, terlepas dari kelompok mayoritas umat muslim.



Makna ketiga : al-masyaqqah yaitu beban dan berat. Artinya orang yang beriftiraq seolah-olah berbuat apa yang memberatkan dan menyakiti kelompok lainnya.





Maka dari keterangan di atas, bisa kita tarik kesimpulannya sebagai berikut :



1. Iftiraq adalah perselisihan dalam masalah ushuluddin atau aqidah yang pasti menyebabkan terjadinya permusuhan dan perpecahan.



2. Ikhtilaf tidak berkonotasi negative. Ikhtilaf yang negative adalah ikhtilaf di dalam aqidah sedangkan ikhtilaf yang positif adalah ikhtilf yang terjadi dalam masalah furu’iyyah, fiqhiyyah atau ijtihadiyyah sebagaimana ikhtilaf yang terjadi di antara ulama madzhab.



3. Salah besar memperuncing masalah ikhtilaf yang ada. Dan salah fatal mencampur adukkan masalah ikhtilaf ke dalam masalah iftiraq.



4. Di antara cirri-ciri aliran sesat adalah ; memecah belah umat Islam, saling bermusuhan, memisahkan diri dari barisan jama’ah muslimin dan terjadinya perselisihan dan perpecahan di antara golongan mereka sendiri sebagai bukti ajaran mereka tidak mengikuti al-haq (kebenaran) dan hanya mengikuti jalan-jalan sesat dan hawa nafsu.


SYAIKH ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI, Benarkah Beliau Seorang MU'TAZILAH..Ataukah Ahlussunnah..??

November 27, 2013


Asy’ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy’ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan Asy’ariyyuun atau Asy'ariah (pengikut mazhab al-Asy’ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy’ari, yang kemudian dikenal sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, memiliki garis keturunan (garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir 55 tahun setelah wafatnya al-Imam Syafi’i..

Pada awalnya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu’tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). kemudian Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).

Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asy'ariah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.

Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.

Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.

Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).

Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.

Belakangan, Asy’ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama’ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy’ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy’ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’ ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah (lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, Dar ‘Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).

Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy’ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy’ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama’ah.

Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy’ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.

Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan aliran bid’ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:

“Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy’ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid’ah dan perkara baru dalam agama Islam”(Ensiklopedia Bid’ah, hal. 140).

Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:

“Tetapi, apakah Asya’irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya’irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama’ah” ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).

UNGKAPAN DIATAS ADALAH MERUPAKAN SEBUAH FITNAH DAN PENIPUAN BESAR TERHADAP ASY'ARIYAH, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.

Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan hanya milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasukAhlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah(lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).

Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat islam sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:

إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)

“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin,Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).

وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)

“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)”(Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).

كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)

“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)

وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)

“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).

والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)

“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”(Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).

Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan)Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.

Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.

Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.

Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.

Sebagai contoh, kaum Salafi Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy’ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah,kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy’ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka? Wallohu a’lam bish-Showab











Selasa, 26 November 2013

BETAPA CINTANYA ROSULULLOH KEPADA KITA UMMAT ISLAM

November 26, 2013







Allohumma Sholli Wa salim'ala sayidina Muhammad.Suatu hari tiba-tiba dari luar pintu rumah rosululloh SAW terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. ‘Assalamualaikum,Bolehkah saya masuk?’ tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkan tamu tersebut untuk masuk, ‘Maafkanlah, ayahku sedang demam’, kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.


Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, ‘Siapakah itu wahai anakku?’Tanya Baginda Nabi.


‘Tidak tahu wahai ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,’ tutur Fatimah lembut. Kemudian, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.


Seolah-olah bagian demi bagian wajah putrinya itu hendak dikenang.


‘Ketahuilah hai putriku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.


Dialah malaikatul maut,’ kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya.


Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.


‘Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?’, tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.


‘Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.


‘Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,’ kata Jibril.


Tapi itu ternyata tidak menjadikan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. ‘Engkau tidak senang mendengar khabar ini wahai kekasih Alloh?’, tanya Jibril lagi.


‘Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?’


‘Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,’ kata Jibril.


Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik.


Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. ‘Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.’


Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.


‘Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?’


Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.


‘Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,’ kata Jibril.


Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.


‘Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.’


Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.


Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan telinganya. ‘Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum’


‘peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.’ Sabda Rosululloh lemah.


Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.


Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.


‘Ummatii,ummatii,ummatiii?’ – ‘Umatku, umatku, umatku’


Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang telah menjadikan kegelapan dunia menjadi terang benderang karena akhlaqnya selama hidup.


Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?


Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi


Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.


"SESUNGGUHNYA TELAH DATANG KEPADAMU SEORANG ROSUL DARI KAUMMU SNDIRI, BERAT TERASA OLEHNYA PENDERITAANMU.DIA SANGAT MENGINGINKAN (KEIMANAN DAN KESELAMATAN) BAGIMU, AMAT BELAS KASIHAN DAN PENYAYANG TERHADAP ORANG ORANG MUKMIN. qs. attaubah : 128

HADIS DHOIF BOLEHKAH DIAMALKAN

November 26, 2013

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’ atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho’if itu?
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’.Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi.Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama.Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi.Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits.Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi.Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih.Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal).Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra.Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya.Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya.Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits.Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya.Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang.Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits.Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya.Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya.Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah.Dahsyat bukan?

Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu
.
Kata mereka
hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu.Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut.Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! .Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

Followers

Copyright © Islamic. All rights reserved. Template by CB Blogger